Kamis, 31 Maret 2011

Suami Pemimpin Keluarga

Ikrar ijab dan kabul merupakan titik tolak sesorang memasuki bahtera rumah tangga. Pernyataan wali untuk menikahkan pengantin wanita dan penerimaan dari pihak laki-laki adalah dasar seseorang berubah statusnya. Bukan hanya status sosial tetapi juga hukum. Sejak ijab-kobul tersebut yang haram jadi halal. Itulah ikatan yang suci. Efeknya luar  biasa. Dengan kalimat yang pendek dan sederhana namun sakral, status seseorang dapat berubah. Semula teman tiba-tiba jadi istri, semula tetangga tiba-tiba jadi suami.
Perubahan-perubahan yang terjadi pada gilirannya akan melahirkan tanggung jawab dan hak yang baru. Suami istri yang semula membujang, kini ada orang lain disisinya. Orang tua mereka juga bertambah, tidak hanya orang tua kandung. Tetapi juga mertua, yang jadi orang tuanya. Karenanya, andaikata seseorang berumah tangga dan tidak siap serta tidak mengerti bagaimana memposisikan diri dan menunaikan kewajibannya yang baru. Maka rumah tangga hanya akan menjadi awal datangnya masalah. Ketika seorang suami tidak sadar bahwa dirinya sudah beristri, lalu bersikap seperti sesorang yang belum beristri sudah pasti akan muncul masalah.
Yang dibutuhkan dalam rumah tangga adalah sinergi dan saling melengkapi. Suami istri diciptakan tidak untuk saling mendominasi. Keduanya diciptakan dengan konstruksi yang berbeda. Karenanya, masing-masing juga memiliki peran yang berbeda-beda.
Sang istri tidak perlu menuntut emansipasi. Karenanya memang tidak perlu emansipasi. Yang diperlukan adalah saling topang untuk mencapai tujuan bersama. Seperti halnya sebuah bangunan yang menjulang tinggi. Ia dapat berdiri kokoh karena prinsip saling melengkapi. Ada semen, bata, pasir, beton, kayu dan bahan-bahan bangunan lainnya. Semua bergabung dan tersusun dengan tepat sesuai porsi dan posisinya sehingga kokohlah bangunan tersebut. Demikianlah rumah tanga itu dibangun.
Tetap sebaliknya jika seseorang suami tidak paham akan statusnya, istri tidak tahu hak dan kewajibannya, anak tidak tahu posisinya, mertua tidak tahu perannya, maka rumah tangga itu akan rapuh dan mudah runtuh. Ibarat sebuah bangunan yang tidak diatur konstruksinya maka bangunannya itu akan berbahaya.
Rumah tangga ibaratnya adalah sebuah organisasi. Disana berkumpul sejumlah individu dengan statusnya masing-masing. Layaknya sebuah organisasi, agar dapat berjalan denagn baik maka dibutuhkan manajemen dan kepemimpinan. Harus ada visi yang hendak dicapai sehingga arah perjalanan menjadi jelas. Disamping itu harus ada kepemimpinan agar setiap anggotanya berjalan secara sinergis untuk mencapai tujuan bersama. Dan pemimpin keluarga adalah suami. Inilah sunatullah dan fitrah.
Dalam rumah tangga, suami adalah pemimpin bagi istri dan anak-anaknya. Sayangnya tidak sedikit suami yang mengartikan kepemimpinan dengan kekuasaan. Karena ia yang memimpin maka ia yang berkuasa. Tetapi benarkah demikian?
Itu adalah gambaran seorang suami yang sempit fikirannya. Sebab tanggung jawab seorang pemimpin adalah memberikan bimbingan yang benar dan bekerja sekuat tenaga untuk kesejahteraan yang dipimpin.
Pada realitanya, tidak seorangpun pemimpin yang layak berlaku sombong. Sebab, pemimpin hanya akan menjadi pemimpin jika ada yang dipimpin. Karenanya, seorang pemimpin jangan merasa lebih dari yang dipimpin.
Sebaliknya, mereka yang dipimpin juga harus menghormati orang yang memimpin. Sebuah kelebihan yang dimiliki seorang istri janganlah membuatnya sombong sehingga merendahkan suami. Namun jadikanlah kelebihan itu sebagai alat untuk memberikan manfaat yang lebih banyak kepada keluarga dan masyarakat luas.
Misalnya, sang istri bergelar S1 sedangkan suaminya hanya lulusan SD. Dalam rumah tangga kepemimpinan tidak bisa dibalik, istri menjadi pemimpin keluarga. Atau di kantor istri jadi pimpinan sementara suami hanya staf. Saat dirumah, seorang suami tetaplah pemimpin bagi istri dan anak-anaknya.
Suami adalah pemimpin keluarga. Laksana nakhoda bagi kapal laut. Seorang nakhoda, dia harus berfikir bagaimana mengatur rumah tangganya agar berhasil dalam mengarungi badai dan gelombang. Agar bisa mendaratkan semua awak kapal untuk menepi dengan selamat.
Kesiapan menikah, bukan hanya kesiapan mencari uang. Uang juga sangat penting tapi bukan satu-satunya yang terpenting. Dalam keluarga, mencari nafkah termasuk proses dalam mengendalikan rumah tangga. Agar makanan  yang dikonsumsi, pakaian yang dikenakan semuanya halal. Bahkan ketika di kantong banyak uangpun seorang suami harus hati-hati. Harus pintar-pintar mengendalikan keuangannya.
Peran suami yang bijak  sangat penting untuk memperolah kebahagian seluruh keluarga. Sehingga seluruh individu dalam keluarga memperoleh ruang untuk ketentraman hati. Semuannya memang butuh proses, butuh kesabaran, butuh pengertian. Tidak hanya dari anak, istri atau saudara. Tetapi dari seluruh anggota keluarga. Target akhirnya adalah kebahagian yang akan diperoleh oleh  keluarga dengan dipimpin oleh sosok yang namanya suami. Semoga.

0 komentar:

Posting Komentar

Kami sangat berbahagia atas Kunjungan Anda...Mohon Bantuannya Untuk memperbaiki Blog ini. Mungkin tulisannya tidak berarti, tetapi saya yakin setiap komentar yang anda tinggalkan akan bermanfaat bagi kami. Terima Kasih...

Entri Populer